Prihatin Putusan MK, Sejumlah Tokoh Tandatangani Maklumat Juanda

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa Universitas Negeri Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru. Merespon hal tersebut sejumlah tokoh dari kalangan dosen hingga mantan pimpinan KPK menandatangani Maklumat Juanda yang berisikan keprihatinan kondisi politik di Tanah Air. 

Maklumat Juanda dibacakan di Jalan Juanda, Jakarta Pusat, Senin (16/10). Disebutkan lebih dari 200 warga Indonesia yang berasal dari kalangan tokoh bangsa, guru besar, seniman, aktivis hingga relawan Jokowi menyepakati maklumat tersebut. Mereka menyoroti perilaku elite politik dalam proses pemilihan presiden dan pemilihan umum 2024 yang mengabaikan kepatutan politik.

“Kami mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi, tapi kehadiran kita hari ini juga menyoroti deretan masalah yang merugikan demokrasi dan kehidupan kita sebagai bangsa,” kata mantan pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas selaku inisiator Maklumat Juanda.

Pimpinan KPK periode 2003-2007 itu menyoroti sejumlah permasalahan mulai dari revisi Undang-Undang KPK, benturan kepentingan pejabat kabinet, hingga UU Cipta Kerja.

Sementara itu, Juru Bicara Maklumat Usman Hamid memandang putusan MK mengecewakan masyarakat yang ingin memperkuat kelembagaan negara. Usman menyinggung soal fenomena politik dinasti.

Usman memahami semestinya tak boleh ada diskriminasi golongan usia dalam pembatasan usia capres dan cawapres. Namun, Usman berharap agar Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan fenomena politik yang kini terjadi di masyarakat.

“Kita berharap MK mengerti suara-suara yang berkembang di masyarakat, bahwa Indonesia sedang mengalami fenomena politik dinasti. Bukan lagi gejala tapi sudah menjadi fenomena nyata bahwa sejumlah anak presiden, sejumlah anak kepala negara, menikmati kekuasaan menikmati jabatan publik dan fasilitas bisnis dari kelompok oligarki ketika bapak Hansedang berkuasa,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Amnesty International itu menyadari betul bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Karena itu, melalui Maklumat Juanda, ia berharap masyarakat dapat melihat fenomena penyelewengan kekuasaan yang saat ini terjadi.

“Keputusan MK tentu saja bersifat final dan mengikat. Harapan kami masyarakat bisa semakin melihat betapa penyelewengan kekuasaan itu terjadi di depan mata, bahkan mantan ketua MK Prof Jimly Assiddiqie sampai mengatakan totalitarianisme ada di depan kita. Jadi tidak ada lagi jarak antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislatif. Tidak ada oposisi,” terangnya.

Usman juga mengungkit KPK yang kehilangan wibawanya. Menurutnya, KPK masa kini mengikuti kehendak pemerintahan yang berkuasa.

“Hari ini kita melihat KPK tidak lagi punya wibawa, punya integritas di mata masyarakat. Kalau kita ukur kepercayaan masyarakat terhadap masyarakat sangat rendah. terhadap parpol lebih rendah lagi, bahkan paling rendah. Jadi ini tidak boleh dibiarkan,” tegasnya.

Berikut isi lengkap Maklumat Juanda

Maklumat Juanda 2023: Reformasi Kembali ke Titik Nol

Reformasi kembali ke titik nol. Mundurnya Reformasi ditandai dengan merosotnya demokrasi dan diperburuk oleh fenomena politik dinasti. Reformasi dan Demokrasi yang kita tegakkan bersama dalam 25 tahun terakhir, dikhianati.

Kedaulatan rakyat disingkirkan. Ruang publik dipersempit, oposisi menjelma aliansi kolusif, lembaga anti-korupsi dilemahkan, dan kekuatan eksekutif ditebalkan. Yang menentukan nasib kita: kekuasaan pemimpin nasional dan para majikan partai.

Penguasa menyalahgunakan demokrasi melalui peraturan perundang-undangan, mulai dari Revisi UU KPK, KUHP, hingga UU Cipta Kerja. Konflik kepentingan pejabat kabinet sangat kuat. Prosedur demokrasi disalahgunakan untuk memfasilitasi oligarki yang lama mengakar di era rezim Soeharto. Penyelesaian pelanggaran HAM berat berhenti di ranah non-yudisial, instan, dan terhalang oleh kompromi politik jangka pendek.

Politik dinasti terasa kental ketika Presiden menyalahgunakan kekuasaan yang sedang dipegangnya untuk mengistimewakan keluarga sendiri. Anak-anaknya yang minim pengalaman dan prestasi politik menikmati jabatan publik maupun fasilitas bisnis yang tak mungkin didapat tanpa status anak Kepala Negara/Presiden yang berkuasa.

Presiden pun terus bermanuver untuk menentukan proses Pemilu 2024 dengan menggandeng kubu politik yang menjamin masa depan sendiri dan dinasti keluarga.

Rasa keadilan diinjak-injak. Masa depan bangsa dijadikan permainan kotor.

Kami memergoki perilaku politik yang nista dari penguasa dan kalangan atas ini. Ukuran moral, tentang yang adil dan tidak adil, yang patut dan tidak patut telah hilang. Perilaku yang nista itu adalah kolusi dan nepotisme yang dirobohkan oleh gerakan reformasi, seperempat abad lalu.

Itu sebabnya di sini kami, sejumlah warga negara dari pelbagai kalangan, bersuara. Indonesia memerlukan politik yang diabdikan untuk kedaulatan rakyat.

Kami mendesak para pemimpin bangsa, terutama Kepala Negara, Presiden Jokowi, agar memberi teladan, dan bukan memberi contoh buruk memperpanjang kebiasaan membangun kekuasaan bagi keluarga.

Dibacakan di Jalan Juanda, Jakarta, Senin, 16 Oktober 2023.

Exit mobile version